Kamis, 29 Oktober 2009

KEKEBALAN DAN HIPERSENSITIVITAS HUBUNGAN ANTARA KEDUANYA


Dahulu, reaksi hipersensitivitas yang diperan-tarai oleh imunoglobulin kadang-kadang disebut sebagai reaksi hipersensitivitas tipe cepat, sedangkan yang diperantarai oleh mekanisme kekebalan seluler dinamakan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. (kadang-kadang reaksi yang terakhir ini juga disebut sebagai reaksi hipersensitivitas tipe tuberkulin atau reaksi hipersensitivitas bakteri, karena contoh-contoh prototipe). Meskipun istilah ini kadang-kadang masih digunakan akan tetapi oleh karena banyak sekali reaksi yang kecepatannya saling bertumpang tindih maka istilah ini menjadi kurang cepat. Suatu klasifikasi kelainan-kelainan imunologis yang lebih berguna telah diusulkan oleh Gell dan Coombs.



CARA-CARA TERJADINYA CEDERA JARINGAN

REAKSI TIPE I / ANAFILAKTIK

Pada reaksi tipe I. Disebut juga sebagai reaksi tipe anafilaktik, subjek harus disensitisasi lebih dahulu oleh antigen tertentu. Selama respon fase induktif dibentuk antibodi IgE. Antibodi ini bersirkulasi dan melekat pada permukaan sel mast yang terbesar diseluruh tubuh. Jika antigen kemudian dimasukkan ke dalam subjek, maka interaksi antigen dengan antibodi yang terikat pada sel mast mengakibatkan pelepasan eksplosif dari zat-zat yang terkandung di dalam sel. Jika antigen yang dimasukkan itu sedikit dan bersifat lokal, maka pelepasan mediatornya juga bersifat lokal dan hasilnya tidak lebih dari daerah vasodilatasi dan bertambahnya permeabilitas yang mengakibatkan pembengkakan lokal.

REAKSI TIPE II / SITOTOKSIK

Reaksi tipe II pada dasarnya merupakan sitotoksik. Pada reaksi macam ini antibodi IgD dan IgM yang bersirkulasi bersatu dengan antigen yang cocok pada permukaan sel. (Yaitu, antigen yang melekat pada atau merupakan bagian dari permukaan sel). Hasil dari interaksi ini adalah percepatan fagositosis sel target atau lisis sebenarnya dari sel target setelah pengaktifan konponen ke depalapn atau ke sembilan rangkaian komplemen. Jika sel target adalah sel asing seperti bakteri makan hasil reaksi ini menguntungkan. Namun, kadang-kadang sel target itu adalah eritrosit-eritrosit dari tubuh, dalam hal ini akibatnya dapat berupa anemia hemolitik.
REAKSI TIPE III / KOMPLEKS IMUN

Reaksi tipe III mempunyai berbagai bentuk, tetapi pada akhirnya reaksi-reaksi tersbut sama-sama diperantarai oleh kompleks imun, yaitu kompleks antigen dengan antibodi, biasanya dari jenis IgD. Prototipe dari reaksi jenis ini adalah reaksi arthus. Secara klasik, jenis reaksi ini ditimbulkan dengan cara mensensitisasi subjek dengan beberapa protein asing dan selanjutnya seubjek tersebut diberi suntikan antigen yang sama secara intrakutan. Reaksi itu secara khas timbul sesudah beberapa jam, dengan melalui fase pembengkakan dan kemerahan kemudian nekrotik serta pada kasus yang berat terjadi perdarahan.

REAKSI TIPE IV / DIPERANTARAI SEL

Reaksi tipe IV diperantarai oleh kontaknya limfosit T yang telah mengalami sensitisasi dengan antigen yang sesuai. Kejadian ini dapat terlihat pada berbagai keadaan. Tuberkulosis merupakan contoh klasik. Menyertai reaksi ini, biasanya akan terdapat nekrosis luas pada jaringan yang merupakan tanda yang cukup khas untuk penyakit ini. Nekrosis semacam ini sekarang diakui sebagai akibat kekebalan yang diperantarai sel, bukan langsung disebabkan oleh racun dari basil tuberkulosis. Tampaknya nekrosis ini adalah akibat dari limfositotoksisitas (yaitu pengaruh dari limfosit yang diaktifkan oleh tuberkuloprotein basil).
Reaksi tipe IV juga diperlihatkan oleh dermatitis kontak alergi yang dapat ditimbulkan secara percobaan maupun secara spontan pada manusia.

Ringkasan reaksi hipersensitivitas
  1. TIPE
  2. MEKANISME
  3. CONTOH


TIPE I : ANAFILAKTIK
Antigen bereaksi dengan antibodi IgE yang terikat ke permukaan sel mast; menyebabkan pelepasan mediator dan efek mediator
Uji gores alergi yang positif
Anafilaksis
Alergi saluran napas
Bisa serangga


TIPE II : SITOTOKSIK

Antibodi berikatan dengan antigen yang merupakan bagian dari sel atau jaringan tubuh; terjadi pengaktifan komplemen, atau fagositosis sel sasaran dan mungkin sitotoksisitas yang diperantarai oleh sel yang dependen-antibodi
Anemia hemolitik imun
Sindrom goodpasture


TIPE III : KOMPLEKS IMUN

Penyatuan antigen dan antibodi membentuk suatu kompleks yang mengaktifkan komplemen, menarik leukosit dan menyebabkan kerusakan jaringan oleh produk-produk leukosit.
Serum sickness
Beberapa bentuk glomerulonefritis
Lesi pada lupus eritematosus sistemik


TIPE IV : DIPERANTARAI SEL

Reaksi limfosit T dengan antigen menyebabkan pelepasan limfokin, sitotoksisitas langsung dan pengerahan sel-sel reaktif.
Dermatitis kontak alergi
Penolakan alograf
Lesi/uji kulit tuberkulosis
Anafilaksis
DEFINISI

Anafilaksis adalah suatu reaksi alergi yang bersifat akut, menyeluruh dan bisa menjadi berat. Anafilaksis terjadi pada seseorang yang sebelumnya telah mengalami sensitisasi akibat pemaparan terhadap suatu alergen. Anafilaksis tidak terjadi pada kontak pertama dengan alergen. Pada pemaparan kedua atau pada pemaparan berikutnya, terjadi suatu reaksi alergi. Reaksi ini terjadi secara tiba-tiba, berat dan melibatkan seluruh tubuh.

PENYEBAB

Anafilaksis bisa tejadi sebagai respon terhadap berbagai alergen. Penyebab yang sering ditemukan adalah:
Gigitan/sengatan serangga
 Serum kuda (digunakan pada beberapa jenis vaksin)
Alergi makanan
Alergi obat. Serbuk sari dan alergen lainnya jarang menyebabkan anafilaksis. Anafilaksis mulai terjadi ketika alergen masuk ke dalam aliran darah dan bereaksi dengan antibodi IgE. Reaksi ini merangsang sel-sel untuk melepaskan histamin dan zat lainnya yang terlibat dalam reaksi peradangan kekebalan. Beberapa jenis obat-obatan (misalnya polymyxin, morfin, zat warna untuk rontgen), pada pemaparan pertama bisa menyebabkan reaksi anafilaktoid (reaksi yang menyerupai anafilaksis). Hal ini biasanya merupakan reaksi idiosinkratik atau reaksi racun dan bukan merupakan mekanisme sistem kekebalan seperti yang terjadi pada anafilaksis sesungguhnya.

GEJALA

Sistem kekebalan melepaskan antibodi. Jaringan melepaskan histamin dan zat lainnya. Hal ini menyebabkan penyempitan saluran udara, sehingga terdengar bunyi mengi (bengek), gangguan pernafasan; dan timbul gejala-gejala saluran pencernaan berupa nyeri perut, kram, muntah dan diare. Histamin menyebabkan pelebaran pembuluh darah (yang akan menyebabkan penurunan tekanan darah) dan perembesan cairan dari pembuluh darah ke dalam jaringan (yang akan menyebabkan penurunan volume darah), sehingga terjadi syok.

Cairan bisa merembes ke dalam kantung udara di paru-paru dan menyebabkan edema pulmoner. Seringkali terjadi kaligata (urtikaria) dan angioedema. Angioedema bisa cukup berat sehingga menyebabkan penyumbatan saluran pernafasan. Anafilaksis yang berlangsung lama bisa menyebabkan aritimia jantung. Gejala-gejala yang bisa ditemui pada suatu anafilaksis adalah: - kaligata - gatal di seluruh tubuh - hidung tersumbat - kesulitan dalam bernafas - batuk - kulit kebiruan (sianosis), juga bibir dan kuku - pusing, pingsan - kecemasan - berbicara tidak jelas - denyut nadi yang cepat atau lemah - jantung berdebar-debar (palpitasi) - mual, muntah - diare - nyeri atau kram perut - bengek - kulit kemerahan.

DIAGNOSA

Pemeriksaan fisik menunjukkan: - kaligata di kulit dan angioedema (pembengkakan mata atau wajah) - kulit kebiruan karena kekurangan oksigen atau pucat karena syok. - denyut nadi cepat - tekanan darah rendah. Pemeriksaan paru-paru dengan stetoskop akan terdengar bunyi mengi (bengek) dan terdapat cairan di dalam paru-paru (edema pulmoner).
PENGOBATAN

Anafilaksis merupakan keadaan darurat yang memerlukan penanganan segera. Bila perlu, segera lakukan resusitasi kardiopulmonal, intubasi endotrakeal (pemasangan selang melalui hidung atau mulut ke saluran pernafasan) atau trakeostomi/krikotirotomi (pembuatan lubang di trakea untuk membantu pernafasan). Epinefrin diberikan dalam bentuk suntikan atau obat hirup, untuk membuka saluran pernafasan dan meningkatkan tekanan darah. Untuk mengatasi syok, diberikan cairan melalui infus dan obat-obatan untuk menyokong fungsi jantung dan peredaran darah. Antihistamin (contohnya diphenhydramine) dan kortikosteroid (misalnya prednison) diberikan untuk meringankan gejala lainnya (setelah dilakukan tindakan penyelamatan dan pemberian epinephrine).

PENCEGAHAN

Hindari alergen penyebab reaksi alergi. Untuk mencegah anafilaksis akibat alergi obat, kadang sebelum obat penyebab alergi diberikan, terlebih dahulu diberikan kortikosteroid, antihistamin atau epinefrin.

OTOIMUNITAS
Pada umumnya fenomena imunologis meliputi pengenalan diri sehingga sistem limfoid dari hospes tidak bereaksi dengan antigen dari tubuh hospes. Namun, sekarang telah diketahui bahwa dalam sejumlah reaksi-reaksi yang diperantarai oleh antibodi atau sel terhadap antigen sendiri dapat diperlihatkan. Meskipun beberapa reaksi ini tidak terlalu penting akan tetapi pada hal-hal lain otoimunitas dianggap sebagai kunci dari patogenesis penyakit. Sering kali pencetus otoimunitas tidak diketahui akan tetapi ada beberapa kemungkinan yang teoritis yang mungkin dapat menerangkan hilangnya toleransi terhadap antigen itu sendiri. Pada beberapa hal ternyata agen infeksi mungkin mempunyai kelompok-kelompok antigenik yang sama seperti yang terdapat pada jaringan tertentu dari hospes. Kemudian dalam reaksi dengan agen itu, jaringan hospes dapat cedera oleh karena reaksi silang. Keadaan kedua mengenai perubahan struktur antigenik dari protein hospes yang disebabkan oleh cedera, infeksi atau membuat kompleks dengan hapten dari luar hospes.

Dengan struktur antigenik yang berubah, jaringan tertentu mungki menimbulkan reaksi imunologis seperti benda asing. Penjelasan lain adalah ”pemaparan” yang mendadak dari antigen itu sendiri yang sebelumnya diisolasi atau terpisah dari jaringan limfoid. Fenomena ini dapat dilihat dalam reaksi otoimun terhadap unsur-unsur pokok sperma atau mata setelah cedera fisik yang mengganggu anatomi normal. Akhirnya ternyata beberapa reaksi otoimun dapat dipercepat oleh hilangnya fungsi sel T, melibatkan sel T supresor yang umunnya mengontrol reaksi imun.

Tidak ada komentar: